LOMBOK, Wartatasik.com – Membawa nama Ikatan Alumni (IKA) Undip, Dr. Budi Laksono, Medical Doktor-Undip, Master Of Health Science, telah membuat lebih dari 80 rumah hunian sementara (huntara) bagi korban gempa di Pulau Lombok, Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).
Rumah hunian sementara itu diberi nama rumah AB6. Telah dibangun di Dusun Jugil Barat, Kecamatan Gangga, Kabubapen Lombok Utara (KLU) dan di Desa Dadap Kecamatan Sambelia, Kabupaten Lombok Timur.
Lantaran tenda pengungsian yang dibuat oleh para korban gempa hanya seadanya. Cepat rusak, tidak sehat dan tidak tahan lama.
Huntara Ini pernah diterapkan di Aceh tahun 2005 pasca gempa dan sunami yang melanda daerah tersebut. Juga di daerah Yogyakarta.
“Rumah sederhana (AB6) ini pernah kita bangun di Aceh 2005, pasca sunami. Sekarang kita coba bangun di Lombok bagi para korban gempa,” uacap Laksono, saat jumpa pers, di Mataram, Minggu (9/9/18) malam, pukul 19.00 Wita.
Pembuatan rumah AB6 tidak membutuhkan waktu lama, hanya 6 jam dan estimasi biayanya tidak mahal, cukup Rp. 6 juta per rumah. Berukuran 4 x 5 meter dan beranda 2 x 4 meter. Pengerjaannya bisa dilakukan oleh lima sampai enam orang. Seperti di Desa Sambik Bangkol, puluhan unit rumah AB6 selesai dikerjakan.
“Biaya rumah AB6 hanya enam juta per rumah. Kita membangun di Sambik Bangkol pertama kali sebanyak 44 unit di camp 1. Kemudian di camp 2 sebanyak 39 unit,” aku Laksono,
“Dan yang mengerjakan bukan tukang. Melainkan masyarakat sendiri atau warga yang mengungsi. Kita bersama-sama gotong royong. Tinggal kita modifikasi,” tambah Dosen Fakultas Kedokteran Undip Semarang ini.
Selanjutnya Laksono menyebutkan, bahan yang dipakai untuk membuat rumah AB6 mudah dicari. Karena diambil dari sisa-sisa rumah warga yang rusak akibat gempa.
“Lantai dari semen, dinding dari triplek atau papan, atap dari sepandek dan tiangnya dari baja ringan. Kendalanya adalah sulit mencari kayu,” ujarnya.
Hasil karyanya ini sudah teruji kekuatannya, termasuk terhadap gempa. Dikatakan Laksono, bahwa rumah AB6 yang telah dibangun di Aceh beberapa tahun silam masih berdiri kokoh. Bahkan sampai saat ini, sebagian masyarakat memanfaatkannya sebagai warung, tempat berjualan kopi dan lain-lain.
“Rumah ini ringan dan setiap sisinya menggunakan penyilang. Kemarin kami meninjau ke Aceh. Ternyata, masih berdiri dan dijadikan wirausaha oleh masyarakat,” tuturnya.
Sementara dirinya menilai, bahwa terdapat pemahaman yang keliru ditengah-tengah masyarakat soal bangunan atau rumah tahan gempa. “Banyak yang keliru bahwa rumah tahan gempa adalah pondasi yang kuat. Padahal itu pemahaman keliru,” jelasnya,
Untuk itu, Laksono kembali mengatakan, rumah sederhana seperti AB6 sebenarnya tidak membutuhkan anggaran banyak. Tapi dengan uang 6 juta bisa terbangun dengan baik.
“Inilah sebenarnya model rumah warisan nenek moyang kita. Harapannya pemerintah bisa menyebarkannya,” ingatnya. Razak | Lombok