Kota, Wartatasik.com – Tahun 2019 menjadi sejarah kelam perjalanan pemerintahan di Tasikmalaya. Baik di Kota maupun Kabupaten muncul beberapa kasus korupsi yang terjadi di pusaran (pucuk tertinggi) pemerintahan.
Mulai dari kasus korupsi dana hibah yang melibatkan Sekretaris Daerah Kabupaten Tasikmalaya (kini sudah vonis) serta dugaan tindak pidana korupsi pembangunan jalan dan jembatan Ciawi Singaparna (Cisinga) yang membelit para pejabat Dinas PUPR Kabupaten Tasikmalaya.
Dan teranyar ditetapkannya Wali Kota Tasikmalaya sebagai tersangka atas dugaan suap (Gratifikasi) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Menurut Wakil Ketua DPC Peradi Tasikmalaya Eki Sirojul Baehaqi, ia mengaku khawatir terdapat praktik-praktik korupsi lain yang belum terungkap, sebab skandal masalah diatas itu hanya bagian kecil saja dari sekian kasus yang muncul kepermukaan.
Peristiwa tersebut lanjut Eki, tidak dapat dipandang sebelah mata, karena merupakan masalah penting serta krusial bagi masyarakat Tasikmalaya pada umumnya yang dikenal sebagai Kota Santri (kota dengan nila-nilai religius-red), karena korupsi bagaikan fenomena gunung es, bisa jadi banyak “tabir” lain yang belum tersingkap.
Klik berita terkait >>> Berstatus Tersangka, Eki S Baehaqi: Baiknya Wali Kota Mengundurkan Diri dengan Kesatria
“Ini dapat dijadikan refleksi bagi semua pihak, mungkin saja kasus-kasus yang nampak di permukaan itu semua adalah cermin dari praktik pemerintahan selama ini yang dilakukan hingga pada level terendah. Sekali lagi, mudah-mudahan keliru dan tidak ada akan terjadi lagi,” ucapnya kepada wartatasik.com, Rabu (15/05/2019).
Menyikapi itu, Eki lantas berfikir apa faktor penyebabnya? pasalnya orang-orang pada umumnya mengatakan karena akibat biaya politik (political cost) bagi seorang Kepala Daerah maupun pejabat lainnya yang dinilai itu mahal.
Namun yang jadi pertanyaan, mengapa mesti berkontestasi bila keberatan dengan beban biaya yang tinggi itu?
Kemudian terangnya, bagi seorang penyelenggara negara atau ASN, mungkin beralasan bila hanya mengandalkan gaji tidak akan cukup, pengamanan serta promosi jabatan atau lainnya.
Lalu mengapa memutuskan untuk menjadi abdi negara jika niatnya untuk memperkaya diri sendiri?
Nah, maka alasan-alasan demikian menjadi sangat tidak relevan saat dikemudian hari perbuatannya (korupsi) itu menjadi sebuah tindak pidana (strafbaar feit) yang di proses oleh aparat penegak hukum.
Ibaratnya, korupsi itu penyakit akut yang sulit untuk disembuhkan. Sebab, perilaku koruptif menyertai perkembangan pemerintahan dari masa ke masa seiring sejalan perkembangannya dengan perjalanan sejarah kekuasaan.
“Sejak dulu Plato (427 SM – 347 SM) sudah mengatakan gagasannya jika para pelayan bangsa harus memberikan pelayanan mereka tanpa menerima hadiah-hadiah. Kalau terbukti bersalah, dibunuh tanpa upacara,” tegasnya.
Selain itu, korupsi adalah perbuatan busuk yang diartikan pula kebejatan, ketidakjujuran, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian (The Lexicon Webster Dictionary). Namun anehnya prilaku demikian terus menerus diulang-ulang oleh manusia,
“Saya yakin mereka yang melakukannya itu kebanyakan adalah orang-orang yang memiliki kedudukan sosial serta kapasitas intelektual yang cukup tinggi. Akan tetapi lagi-lagi intelektual serta kedudukan seseorang belum tentu berbanding lurus dengan kualitas moral (integritas) seseorang,” paparnya.
Ditambahkan Eki, dalam konsep islam korupsi memilik beragam istilah seperti Ghulul (penyalahgunaan jabatan), Syariqah (mencuri sembunyi-sembunyi), termasuk pula Risywah (suap).
Bahkan untuk perkara suap atau gratifikasi, telah disebutkan dalam sebuah hadis yang berbunyi, arrosyi wal murtasyi fin nnaar artinya yang memberi suap dan yang disuap sama-sama masuk neraka.
“Ya, dalam hukum positif, itu semua dikenal dengan istilah tindak pidana korupsi (dengan beragam bentuknya, red) yang diatur didalam Undang-undang 31 tahun 1999 jo Undang-undang No. 20 tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” ujarnya lagi.
Pada sisi lain Eki berharap, masyarakat harus benar-benar mendukung terhadap upaya pemberantasan korupsi dengan membangun budaya anti korupsi mulai dari hal-hal yang sangat kecil disekitar kita agar tidak bersikap pasif serta permisif terhadap segala hal yang bernilai koruptif.
“Tidak ada toleransi (zero tolerance) untuk tindak pidana korupsi. Mari saatnya kita kembalikan predikat Kota Santri yang salah satu upayanya adalah mewujudkan Tasikmalaya menjadi Zona Anti Korupsi,” pungkasnya. Redi/Blade