Bandung, Wartatasik.com – Hampir 9 bulan semua orang berada dalam cengkraman teror Covid-19 yang menghambat berbagai aktifitas, termasuk melakukan perjalanan wisata dosmestik maupun ke luar negeri.
Yang bisa dilakukan hanya memandangi potret-potret perjalanan yang pernah dilalui, sebagai obat rindu melancong ke berbagai tempat wisata. Salah satu yang berkesan adalah perjalanan ke Istanbul, kota yang menjadi destinasi wisata terbesar di Turki.
Hal itu dikatakan Akademisi, Pelancong, Penyuka Fotografi Seni dan Budaya Cecep Hidayat, Selasa (15/12/2020). Ia sangat terpesona dengan Kota Istanbul dengan warisan sejarah yang terhampar di dalamnya, sehingga menjadi paham mengapa kota ini sejak beribu tahun lalu menjadi rebutan penguasa-penguasa adidaya pada masanya.
“Karena memiliki posisi strategis dalam lalu lintas dunia dan menjadi simpul peradaban barat dan timur yang menghubungkan benua Asia di timur dan benua Eropa di barat. Salah satu yang terkenal dari Istanbul adalah dua mesjid yang letaknya berseberangan, Masjid Biru dan Hagia Sofia,” ucapnya.
Konon masjid biru ini dibangun oleh Sultan Ahmed I pada tahun 1609 untuk menandingi Hagia Sophia yang dibangun oleh kaisar Bizantium Constantin I. Orang Turki menyebut masjid ini dengan sebutan Sultan Ahmed Camii untuk mengenang yang membangunnya.
Ada yang khas dari masjid-masjid di Turki.
“Lihat jumlah menaranya (minaret). Kalau berjumlah 6 atau 4 buah, itu berarti yang membangun Sultan. Bila dua minaret, seorang permaisuri atau perempuan bangsawan yang membangunnya. Kalau satu menara, orang kebanyakan yang membangun. Gaya arsitektur Utsmani ini bisa dijumpai di luar Turki, terutama di negara-negara yang terdapat komunitas Turki,” beber Cecep.
Ia masih teringat masjid di Auburn Sydney, mirip sekali dengan masjid biru. Ada juga masjid di ibukota salah satu negara yang dulu merupakan bagian dari Rusia, memiliki minaret. Ternyata penyokong dananya adalah orang Turki.
Lanjut Cecep, melihat ke atas tampak kubah dihiasi keramik berwarna biru, hijau, ungu, dan putih. Demikian juga ornamen insterior masjid dihiasi keramik berasal dari Iznik, daerah penghasil keramik nomor wahid di Turki. Dominasi kubah dan interior keramik biru, makanya masjid ini terkenal sebagai masjid Biru.
“Pilar marmer berdiameter 5 meter menambah kewibawaan masjid ini. Sementara 260 jendela kaca patri membantu memancarkan cahaya dari luar yang memperindah kubah biru,” jelasnya.
“Chandeliers (lampu) yang diletakkan di tengah bangunan mempunyai keunikan dengan adanya telur burung unta yang mencegah laba-laba bersarang disana, betul-betul teknologi ramah lingkungan. Terakhir kaligrafi yang sebagian besar dibuat Seyyid Kasim Gubari, kaligrafer top pada masa itu, melengkapi keindahan dan keagungan masjid Biru,” sambung Cecep.
Ia menceritakan, perjalanan berlanjut ke Hagia Sophia dan melihat karya arsitektur monumental yang dibangun pada masa kaisar Justinian I tahun 530 sebagai basilika Kristen Ortodoks. Pasca ditaklukan oleh Sultan Mehmed II 27 Mei 1453, bangunan ini berubah fungsi menjadi masjid.
Oleh sebab itu banyak nama untuk bangunan ini seperti Sancta Sophia (latin), Hagia Sophia (arab), Aya Sopyia (Turki). Pada masa Mustafa Kemal Attaturk menjadi presiden Turki pertama bangunan ini dijadikan museum tahun 1934.
Keberadaan bangunan megah ini menjadi unik karena dimiliki oleh dua penganut agama besar di dunia : Kristen dan Islam. Masing-masing memiliki keterikatan berdasarkan kenyataan di masa silam.
$Orang Kristen yang memasuki Hagia Sophia akan melihat ornamen tanda-tanda kekristenan seperti lukisan malaikat atau bunda Maria. Umat Islam pun demikian akan terpana dengan kaligrafi Allah atau Muhammad pada kubahnya. Semua sah-sah saja,” ujar Cecep.
Menurutnya, berada dalam gedung Hagia Sophia pasti menimbulkan kekaguman. Sebuah bangunan tinggi, luas, megah, berumur ribuan tahun dengan ornamen yang enak dipandang. Terasa dingin, mungkin karena bangunan tinggi menghasilkan aliran udara yang baik.
Cecep membayangkan audionya, tanpa sound system namun mampu menyebar ke seluruh ruangan. Sebenarnya mata ia, ada yang menarik perhatiannya sejak awal, yaitu bagaimana bangunan berumur ribuan tahun tetap kokoh berdiri.
“Sayang sang pemandu wisata tidak bisa menjelaskan dengan baik. Mungkin dianggapnya turis Indonesia cukup dengan informasi permukaan saja, toh mereka lebih senang berfoto ria,” tuturnya.
Ada kabar gembira datang di tengah masa pandemi ini, dimana pada masa kepemimpinan Presiden Recep Tayyip Erdogan, tanggal 24 Juli 2020 Hagia Sophia resmi menjadi mesjid (kembali) setelah selama 86 tahun difungsikan sebagai museum.
Hal ini diumumkan oleh Presiden Erdogan sesaat setelah Pengadilan Tinggi Negeri Turki membatalkan keputusan pengubahan status Hagia Sophia menjadi museum pada tahun 1934.
“TeşekkÜr ederim (thank you) Istanbul. Semoga pandemi ini cepat berlalu, agar kita diberi kesempatan untuk mengunjungi kembali Hagia Sophia untuk mendengarkan lantunan adzan dan menunaikan sholat di dalamnya,” pungkasnya. Eqi.