
Kota, Wartatasik.com – Kota Tasikmalaya, dengan julukan Kota Santri, sejatinya memiliki banyak pondok pesantren sebagai simbol keagamaan dan pendidikan.
Namun, kenyataannya, keberadaan pondok pesantren tersebut tidak sebanding dengan realitas sosial yang ada, terutama terkait dengan meningkatnya kasus kriminalitas.
Termasuk pelecehan seksual terhadap perempuan yang terjadi di kota ini. Hal ini sangat memprihatinkan karena isu pelecehan seksual selalu marak, bahkan seakan menjadi masalah kronis yang belum tertangani dengan baik.
Hal tersebut diungkapkan WK II Bidang Eksternal KOPRI INU Tasikmalaya Laura Natalia Tatiratu, Rabu (19/2/25).
Lanjutnya, sejak awal tahun 2025, berita tentang pelecehan seksual di Tasikmalaya terus menjadi sorotan publik. Tindak kekerasan seksual ini bukan hanya terjadi di tempat umum, namun juga sering kali ditemukan di lingkungan pendidikan, yang seharusnya menjadi tempat yang aman bagi semua orang, terutama bagi perempuan.
“Sebagai seorang perempuan, saya merasakan kegeraman yang mendalam atas kejadian-kejadian semacam ini. Namun, yang lebih memprihatinkan adalah minimnya tindakan tegas dari pemerintah Kota Tasikmalaya dalam mengatasi masalah ini, sehingga menimbulkan ketidakpercayaan terhadap efektivitas kebijakan yang ada,” ujarnya.
Fenomena pelecehan seksual yang terus terjadi di Tasikmalaya ini, lanjutnya lagi, menunjukkan adanya kegagalan dalam sistem pencegahan serta penanganan dari berbagai pihak, baik pemerintah, lembaga pendidikan, maupun aparat penegak hukum.
“Oleh karena itu, sudah saatnya bagi kita untuk melakukan refleksi mendalam terkait kegagalan dalam menghadapi masalah ini. Evaluasi terhadap kebijakan pemerintah, baik di tingkat eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, harus menjadi agenda utama dalam rangka menciptakan Kota Tasikmalaya yang aman, nyaman, dan bebas dari kekerasan seksual,” imbuhnya.
Sebagai kader KOPRI PK PMII INU Tasikmalaya, ia mendesak aparat penegak hukum untuk menindak tegas pelaku kekerasan seksual dan memprosesnya sesuai dengan hukum yang berlaku.
“Tindakan ini bukan hanya untuk menegakkan keadilan, tetapi juga sebagai pesan kuat bahwa pelecehan seksual tidak dapat dibiarkan dan tidak dapat ditoleransi dalam bentuk apapun,” tegasnya.
Ia juga mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bersama-sama menyuarakan gerakan “Stop Tindakan Seksual Terhadap Perempuan”.
“Pelecehan seksual terhadap perempuan adalah pelanggaran hak asasi manusia yang harus dihentikan. Tindak pidana kekerasan seksual bukan hanya merusak individu korban, tetapi juga mencoreng wajah kemanusiaan kita sebagai masyarakat,” katanya.
Untuk mengatasi permasalahan ini, terang Laura, kesadaran dan pendidikan tentang pelecehan seksual harus ditingkatkan di kalangan masyarakat.
“Kita perlu menciptakan lingkungan yang lebih peka terhadap tanda-tanda kekerasan seksual serta memberikan pemahaman yang lebih dalam mengenai bahaya dan dampaknya,” tuturnya.
“Pemerintah juga harus lebih aktif dan serius dalam mengatasi isu ini dengan merumuskan kebijakan yang tepat dan melibatkan semua pihak terkait, termasuk lembaga pendidikan, organisasi masyarakat, dan komunitas. Kolaborasi antara pemerintah serta masyarakat sangat diperlukan untuk menciptakan ruang aman bagi semua orang,” tambahnya.
Sebagai langkah lebih lanjut, ia mengatakan, penting untuk mengacu pada aturan-aturan hukum yang ada, seperti,
– Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang mengatur tentang perlindungan anak dari berbagai bentuk kekerasan seksual.
– Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, yang memperjelas dan mempertegas tindak pidana kekerasan seksual dan memberikan perlindungan hukum bagi korban.
“Melalui langkah-langkah yang tegas dan kerjasama antara pemerintah, masyarakat, dan lembaga-lembaga terkait, kita berharap kasus pelecehan seksual di Kota Tasikmalaya dapat diminimalisir dan perempuan dapat merasa lebih aman dalam menjalani kehidupan mereka,” tandasnya. Red.