Tasikmalaya, Wartatasik.com – Direktur Perencanaan dan Pembangunan BPJS Kesehatan, Mahlil Ruby menyebut di usia satu dekade Program JKN, semakin banyak tantangan yang harus dihadapi. Salah satu tantangan terbesarnya adalah menjaga sustainabilitas atau ketahanan dana jaminan sosial melalui peningkatan keaktifan dan retensi kepesertaan pekerja sektor informal.
“Actuarial Loss Ratio tahun 2024 dalam kondisi tidak sehat berada pada kisaran 120%, dimana biaya per peserta per bulan lebih tinggi dibandingkan iuran yang diterima per peserta per bulan,” ungkap Mahlil dalam acara Peluncuran Program Peningkatan Kepesertaan Aktif dan Sosialisasi JKN di Kabupaten Tasikmalaya, Rabu (14/08).
Mahlil menjelaskan, reaktivasi peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) atau yang didominasi oleh sektor informal saat ini belum optimal, yakni 53,04 persen. Berdasarkan data per Juni 2024, ada sekitar 14,8 juta peserta JKN segmen Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) sektor informal yang masih menunggak iuran JKN. Oleh karena itu, dia berpendapat bahwa harus ada upaya-upaya inovasi untuk pembiayaan JKN sehingga dapat meningkatkan reaktivasi PBPU sektor informal.
“Peningkatan peran pemerintah daerah dan lembaga keagamaan dalam menjaga masyarakat agar saat sakit tidak menjadi jatuh miskin disebabkan oleh pembayaran biaya kesehatan yang meningkat tinggi,” ucapnya.
Dalam pandangannya, setidaknya ada lima faktor kepesertaan yang menyebabkan peserta tersebut tidak bisa membayar kewajiban mereka. Faktor pertama adalah ketidakmampuan. Berdasarkan survei yang telah dilakukan, sebanyak 60 persen peserta yang menunggak di Kabupaten Tasikmalaya tidak mampu membayar dengan Ability to Pay (ATP) hanya Rp17.000,- (tujuh belas ribu rupiah). Artinya, nilai ini hanya setengah dari jumlah yang seharusnya dibayarkan oleh peserta.
Faktor kedua adalah short insight atau berpikiran jangka pendek. Sebagian masyarakat berpandangan, hari ini mereka tidak sakit sehingga tidak memerlukan Program JKN. Jika sakit, peserta baru membayar sesuai uang yang dimintakan.
“Namun, kita semua tidak tahu kapan sakit itu akan datang. Penyakit tidak sama seperti pendidikan yang mana bisa diprediksi. Maka dari itu, lebih baik kita mencegah daripada mengobati. Lebih baik mempersiapkan daripada kocar-kacir di kemudian hari,” tutur Mahlil.
Lalu, faktor ketiga adalah kelupaan bayar. Sebagaimana aturan yang ada, batas pembayaran iuran BPJS Kesehatan adalah tanggal 10 tiap bulannya. Jika lewat dari tanggal tersebut, maka hitungannya adalah tunggakan.
“Oleh karena itu, kami mencoba untuk mengatasinya dengan meng-collect. Program ini merupakan telekolekting untuk mengingatkan peserta agar membayar iuran melalui panggilan telepon atau berkirim pesan,” sebutnya.
Selanjutnya, faktor keempat adalah moral hazard. Ini merupakan lanjutan dari faktor short insight. Selain itu, sebagian juga berpikiran jika uang yang mereka bayarkan digunakan untuk membayar orang lain yang membutuhkan sehingga mereka tidak akan bisa digunakan. Maka dari itu, pria asal Aceh itu mengajak semua untuk melihat program ini dari aspek sedekah.
“Jangan kita lihat iuran BPJS Kesehatan ini dari sisi bisnis, tapi mari kita lihat dari sisi sedekah. Dasarnya, sedekah memberikan harta kita untuk orang lain yang membutuhkan. Seharusnya kita memandang iuran ini dari sisi itu juga,” jelas Mahlil.
Kemudian, faktor terakhir adalah kecewa. Bisa saja mereka mendapatkan pelayanan yang kurang ramah sehingga pengalaman buruk ini membekas pada dirinya. Hal ini membangkitkan keinginan untuk tidak membayar karena merasa percuma membayar iuran setiap bulannya jika harus mendapatkan pelayanan yang tidak bagus.
Di akhir sambutan, Mahlil mengajak semua stakeholder, mulai dari Pemerintah Daerah, Lembaga Keagamaan, dan masyarakat luas untuk bersama-sama menyukseskan Program JKN.
“Maka dari itu, marilah kita bersama-sama memberikan pencerahan kepada yang belum memahami fungsi iuran BPJS Kesehatan. Semoga dengan adanya program ini membuat semua masyarakat Kabupaten Tasikmalaya bisa terlindungi dan diberikan kemudahan dalam berobat,” tutupnya. Jamkesnews