Bandung, Wartatasik.com – Pembahasan rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) oleh DPR dan Pemerintah menuai kritik tajam dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Badko Jawa Barat. Pasal-pasal yang dirancang dinilai menghambat kebebasan masyarakat dan mengekang demokrasi.
Ketua Bidang Politik dan Demokrasi HMI Badko Jawa Barat, Muhammad Ramdan Maulana mendorong agar pemerintah dan DPR menghapus pasal kontroversial dari pembahasan.
“Jika isi RKUHP itu masih sama dengan rancangan sebelumnya yang penuh kontroversi. Banyak pasal karet yang multi tafsir kemudian banyak merugikan masyarakat, tentu HMI Badko Jawa Barat siap melakukan aksi penolakan,” kata Ramdan ketika dihubungi, Kamis (23/6/2022).
Kemudian Ramdan menambahkan, yang terpenting adalah menghapus pasal-pasal yang akan membunuh dan mengekang iklim demokrasi di Indonesia.
“Utamanya dalam kondisi Demokrasi Indonesia yang sedang bertumbuh saat ini,” ucap Ramdan dalam keterangan tertulisnya.
Ia memberi contoh dalam draf RKUHP versi September 2019 yang dapat diakses publik, terdapat beberapa pasal kontroversial yang dinilai akan mengancam kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Seperti Pasal 218 RKUHP tentang penghinaan terhadap harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden, Rumusan pasal tersebut menurut Ramdan sama dengan konsep kejahatan yang ada dalam Pasal 134 dan Pasal 137 ayat (1) KUHP yaitu penghinaan presiden, yang merupakan warisan kolonial Belanda.
Ramdan menjelaksan, pada awalnya pasal itu digunakan untuk memproteksi martabat dari raja atau ratu di Belanda. Namun pasal tersebut sudah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan 013-022/PUU-IV/2006.
Lanjut Ramdan, Mahkamah Konstitusi pada saat itu menyatakan bahwa sudah tidak relevan jika dalam KUHP Indonesia masih memuat pasal penghinaan presiden dan menegasi prinsip persamaan di depan hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, dan prinsip kepastian hukum.
Kemudian, Pasal 240-241 RKUHP tentang penghinaan terhadap pemerintah. Ramdan menilai pasal ini sudah tidak tepat jika melihat kondisi Indonesia sebagai bangsa yang sudah merdeka.
“Sudah sepatutnya pasal warisan kolonial ini dihapus saja karena tidak sesuai lagi dengan prinsip negara demokratis yang merdeka,” ucapnya.
Kemudian, Pasal 273 RKUHP tentang pidana bagi demonstran yang tidak melakukan pemberitahuan dan menimbulkan keonaran dan Pasal 353-354 RKUHP tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara.
“Pasal-pasal tersebut mengandung multitafsir dan sangat berpotensi disalahgunakan untuk membungkam kritik dan menkriminalisasi para aktivis yang menyuarakan kiritiknya, baik itu melalui aksi demonstrasi maupun gerakan melalui sarana teknologi informasi seperti media sosial,” kata Ramdan.
Dirinya menambahkan, pasal tentang Tindak Pidana Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara berpotensi menjadi pasal karet dengan potensi pengekangan hak dan kebebasan warga negara yang sangat besar dan juga dapat menjadi jelmaan dari pasal subversif.
“Belum lagi pada rezim orde baru digunakan juga sebagai pasal langganan penguasa saat itu untuk membatasi kegiatan masyarakat yang akan berdemonstrasi,” pungkasnya. Suslia.