Kota, Wartatasik.com – Terbitnya Peraturan Wali Kota No. 51 /2019 tentang Penyesuaian Tarif Retribusi Parkir menimbulkan polemik dari masyarakat.
Menyikapi hal tersebut, salah satu Akademisi dan Praktisi Hukum Eki S Baehaqi angkat bicara.
Ia menyebut, bagaimanapun setidaknya Perwalkot tersebut memunculkan pertanyaan dan asumsi beragam permasalahan seperti kegagalan paradigmatik yaitu utamanya dalam memahami dan melihat konsep pembangunan.
Menurut Eki, naiknya besaran tarif retribusi parkir di sektor jasa umum merupakan negasi dari kemajuan ekonomi suatu daerah, semakin maju idealnya daerah tidak terlalu mengandalkan retribusi di sektor jasa umum.
“Hal itu seolah menjadi indikator minimnya inovasi daerah didalam menggali potensi pendapatan di sektor lainnya,” ungkapnya, Rabu (01/01/2019).
Selain itu terang Eki, perwalkot tersebut merupakan kekeliruan prosedural, pasalnya kenaikan tarif retribusi tersebut konon ditetapkan tanpa persetujuan DPRD.
Padahal kata Eki, idealnya kebijakan penyesuaian tarif harus mempertimbangkan pula pendapat DPRD sebagai lembaga politik, yang merupakan representasi masyarakat.
Karena argumentasi sosiologis, ekonomis maupun yurudis versi Pemerintah Kota Tasikmalaya akan lebih baik bila diuji, diterima serta mendapatkan legitimasi dari lembaga DPRD.
“Sehingga idealnya terkait pengaturan besaran tarif tersebut diatur melalui Perda. Itu berarti tidak sertamerta Kepala Daerah menetapkan besaran tarif secara sepihak,” papar Eki yang juga Dosen STAINU ini.
Eki menambakan, keberadaan Perwalkot 51/2019 tanpa didasari perubahan perda nampaknya kurang tepat dan terkesan terburu-buru bahkan bersifat otoriter serta tidak partisipatif, sehingga wajar timbul polemik yang cukup meluas.
Tak ayal, Perda 5/2011 tentang Retribusi Daerah yang menjadi acuan terbitnya perwalkot tersebut terdapat konflik norma didalamnya. Satu sisi memberikan kewenangan kepada Kepala Daerah untuk menetapkan tarif namun pada sisi lain besaran tarif harus diatur didalam perda.
“Ya, seperti halnya yang pernah dilakukan terhadap Perda 8/2017 yang mengatur (lebih banyak) mengenai perubahan tarif jasa layanan kesehatan,” ujarnya.
Jika ditelisik, kebijakan kenaikan besaran tarif tanpa membahas upaya penyelesaian permasalahan tarif parkir secara keseluruhan dari mulai aspek menajerial hingga pengawasan rasanya tidak fair.
Harusnya, sejauhmana pemerintah mengatasi kebocoran parkir yang tidak sedikit, sehingga terkesan pendapatan di sektor parkir ini hanya memberikan keuntungan lebih besar kepada “oknum” pengelola secara pribadi maupun kelompok.
“Sejauhmana kualitas layanan serta jaminan bagi pengguna jasa (masyarakat). Kebijakan itu belum nampak terdengar yang semestinya menjadi paket kebijakan tarif pengelolaan parkir, jadi tidak sesederhana menaikkan besarannya saja,” pungkasnya. Blade