Referensi – Perekonomian Indonesia berdasarkan besaran Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku triwulan I-2023 mencapai Rp5.071,7 triliun, sementara dari sektor perikanan, KKP menargetkan antara lain pertumbuhan PDB perikanan 4-6%, dan produksi perikanan 30,31 juta ton dan angka konsumsi ikan menjadi 61,02 Kg/kapita (Detik.com).
Hal tersebut berusaha direalisasi dengan menetapkan lima agenda kebijakan prioritas Kementrian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, salah satunya adalah pembangunan budidaya laut, pesisir dan darat yang berkelanjutan (KKP, 2023).
Realisasi dari target KKP tersebut dihadapkan pada beberapa kendala, salah satunya ketergantungan impor pakan dan mencari substitusi pengganti tepung ikan. Meningkatkan volume kegiatan budidaya perikanan pada gilirannya berimbas pada melambungnya kebutuhan pakan sebagai variabel utama dalam proses budidaya.
Pergeseran skala budidaya dari tradisional menjadi semi intensif/intensif guna mencapai target peningkatan produksi perikanan nasional berpengaruh pada meningkatkan volume kebutuhan pakan. Kebutuhan terhadap pakan pada budidaya semi intensif dan intensif yang mensyaratkan pakan harus memiliki kualitas gizi yang baik dan homogen, memiliki kandungan air yang rendah, mudah diperoleh dan kontinuitas yang terjamin mengakibatkan 90% kebutuhan pakan budidaya disuplai oleh industri pakan skala besar yang produksinya berbasis bahan pakan impor.
Bila permintaan bahan pakan impor semakin tinggi, dan diperburuk dengan menurunnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang internasional, berdampak pada harga pakan semakin mahal. Kondisi pasca pandemi masih menyisakan kondisi dimana harga pakan masih tinggi.
Pakan udang dengan kandungan protein kasar 28-30% menncapai Rp 17.500 sampai Rp 20.100 per kilogram, sementara harga pakan ikan lele (PK 32%) berada pada kisaran Rp 365.000 per 30 kg. Bila kenaikan pakan tidak diimbangi harga jual ikan naik, maka keuntungan pembudidaya ikan makin menurun dan berdampak buruk terhadap produksi perikanan nasional.
Beberapa faktor menjadi penyebab mahalnya pakan di Indonesia, diantaranya : 1) ketergantungan yang besar pada bahan baku pakan impor, seperti tepung ikan, bungkil kedelai, pollard. 2) biaya transportasi yang tinggi dalam rantai tata niaga dan distribusi pakan di dalam negeri. Industri pakan skala besar berada di Pulau Jawa (64%) dan di Pulau Sumatera (36%), sementara wilayah distribusinya tersebar di seluruh Indonesia. Beban biaya distribusi ini selanjutnya akan dibebankan pada konsumen dalam bentuk harga eceran terendah (HET) pakan.
Pemanfaatan Bahan Lokal
Pengembangan pakan lokal berbasis pemanfaatan limbah industri merupakan pendekatan penyediaan pakan nasional yang lebih ekonomis. Berbagai industri agroindustri tersebar di Indonesia, seperti kelapa sawit, coklat, tapioka, dan jagung menghasilkan limbah yang berpotensi dijadikan sebagai sumber karbohidrat (kandungan protein <20%), daun-daunan seperti lamtoro, biji karet, kecipir dan berbagai tanaman air merupakan sumber protein nabati, sedangkan limbah pengalengan ikan, ikan rucah, bekicot, cacing dan maggot merupakan sumber protein hewani (kandungan protein >20%).
Berbagai penelitian tentang cara pengolahan untuk meningkatkan nilai nutrisi dan jumlah substitusi optimal dalam pemanfaatan bahan-bahan lokal telah dikaji dan masih terus dieksplorasi. Bahan pakan lokal terbukti mampu mengurangi porsi bahan pakan impor dalam pakan tanpa menimbulkan dampak negatif terhadap pertumbuhan ikan.
Evaluasi hasil penelitian tingkat penambahan bahan pakan lokal dalam pakan berbagai spesies ikan menunjukkan tingkat substitusi yang bervariasi antara 5-30% untuk sumber nabati dan sampai 40% untuk sumber hewani dalam formulasi pakan.
Penggunaan bahan lokal dalam formulasi pakan dalam dapat mengurangi harga pakan mencapai 400-500 rupiah/kg, sehingga bisa dibayangkan jumlah penghematan biaya yang diperoleh bila dikonversikan pada penggunaan pakan dalam volume besar.
Keberpihakan Pemerintah
Pemberdayaan industri pakan mandiri berbasis bahan lokal memerlukan peran serta yang terpadu dari pihak industri, perguruan tinggi, balai riset dan kebijakan pemerintah. Industri yang berkontribusi pada produksi limbah memberikan penguatan finansial pada teknologi pengolahan melalui program Corporate Social Responsibility (CSR), yang berdasar pada hasil riset terbaik dari perguruan tinggi dan balai riset.
Melakukan peningkatan pengetahuan, kemampuan dan wawasan pembudidaya tentang teknologi tepat guna yang relevan dengan penyediaan bahan pakan lokal, seperti teknologi fermentasi, probiotik, dan pengendalian mutu produk olahan bahan pakan yang berpegang pada prinsip cara budidaya ikan yang baik (CBIB).
Pengaturan produk agar memiliki daya saing kompetitif dan sejalan dengan isu keamanan pangan telah diatur pada UU Perikanan No.45/2009 Pasal 20 yang menyatakan bahwa produk perikanan wajib memenuhi persyaratan kelayakan, sistem jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan yang terdiri dari subsistem: Pengawasan dan pengendalian mutu; pengembangan dan penerapan persyaratan atau standar bahan baku, persyaratan atau standar sanitasi dan teknik penanganan serta pengolahan, persyaratan atau standar mutu produk, persyaratan atau standar sarana dan prasarana, serta persyaratan atau standar metode pengujian, dan sertifikasi.
Lebih jauh lagi, peran pemerintah lebih diharapkan pada perbaikan rantai tataniaga dan distribusi pakan yang lebih efisien, regulasi dan kebijakan yang melindungi dan mendukung terhadap penyediaan bahan pakan lokal yang stabil dan kontinu. Hal ini dapat dilakukan dengan penerapan pajak progresif pada bahan pakan import, sehingga pengadaan bahan pakan bergerak pada pemanfaatan bahan lokal.
Selain itu aspek penguatan modal melalui koperasi dan kelompok usaha tani, serta subsidi terhadap komponen produksi budidaya ikan, seperti pupuk dan obat, akan meningkatkan minat masyarakat dalam usaha di sektor perikanan dan pada gilirannya akan berkontribusi pada peningkatan produksi perikanan budidaya.**
Oleh : Yuli Andriani
Staf Pengajar Prodi Perikanan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran