Menyoal Putusan MK, Ketua MTT: Langkah-langkah PSU Harus Ditempuh Agar Tidak Terjadi Polemik

Mahasiswa Tasikmalaya Timur (MTT), Dina Diana Ginanjar | dokpri

Kabupaten, Wartatasik.comMenyoal Putusan MK 176/PUU-XXII/2024 dan implikasinya terhadap Pemungutan Suara Ulang (PSU) di Kabupaten Tasikmalaya. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan bahwa Pasal 426 ayat 1 huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan UUD RI 1945.

Dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat telah memunculkan berbagai konsekuensi serius terhadap dinamika politik dan proses demokrasi, terutama di daerah-daerah yang sedang menghadapi Pemungutan Suara Ulang (PSU).

Salah satu daerah yang terdampak secara langsung adalah Kabupaten Tasikmalaya, yang saat ini tengah berhadapan dengan situasi politik yang semakin kompleks dan penuh ketidakpastian.

Ketua Bidang Politik, Hukum, dan Demokrasi, Mahasiswa Tasik Timur (MTT) Dina Ginajar, menegaskan bahwa putusan MK ini berpotensi memicu polemik dalam tahapan pencalonan kepala daerah. Di Tasikmalaya, salah satu calon yang menggantikan petahana Hj. Ade Sugianto adalah seorang anggota legislatif yang baru saja memenangkan Pemilu 2024.

Dengan adanya putusan MK ini, lanjut Dina, status pencalonannya menjadi problematis, karena jika tetap maju dan berhasil terpilih, maka ada kemungkinan besar akan muncul gugatan hukum yang dapat menghambat jalannya pemerintahan daerah.

“Hal ini menimbulkan dilema yang tidak dapat diabaikan. Jika pencalonan yang bersangkutan dibiarkan tanpa kepastian hukum yang jelas, maka potensi munculnya ketidakstabilan politik di Tasikmalaya menjadi sangat tinggi. Sebaliknya, jika dilakukan tindakan yang bertentangan dengan putusan MK,” ujarnya, Sabtu (22/3/2025).

Maka, tambahnya, akan muncul persoalan legalitas yang dapat berujung pada krisis kepercayaan terhadap institusi penyelenggara pemilu. Dengan tahapan pendaftaran calon dalam PSU yang telah berlangsung, “Maka keputusan yang diambil harus bersifat final dan tidak boleh membuka celah bagi konflik hukum yang lebih luas di kemudian hari,” katanya.

Lanjutnya, selain dampak hukum dan politik yang diakibatkan oleh putusan MK, permasalahan lain yang tak kalah krusial adalah lemahnya tata kelola pemilu yang dilakukan oleh penyelenggara di tingkat daerah.

“Dugaan praktik nepotisme dalam proses rekrutmen Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) menjadi indikasi bahwa masih terdapat kelemahan mendasar dalam manajemen pemilu di Tasikmalaya. Jika proses perekrutan diwarnai dengan kepentingan tertentu dan tidak mengedepankan asas profesionalisme, maka kualitas penyelenggaraan PSU akan sangat diragukan,” katanya.

Dalam berbagai kasus, katanya, praktik nepotisme dalam perekrutan penyelenggara pemilu di tingkat daerah telah terbukti menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan berbagai penyimpangan, mulai dari ketidaknetralan dalam penyelenggaraan hingga manipulasi data hasil pemilu. Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka dampaknya tidak hanya berpotensi merusak legitimasi PSU di Tasikmalaya, tetapi juga memperburuk citra penyelenggara pemilu secara nasional.

“Kondisi ini semakin diperparah dengan rendahnya transparansi dari pihak Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam menanggapi berbagai permasalahan yang muncul. Keengganan untuk memberikan klarifikasi yang tegas dan sikap cenderung pasif dalam menghadapi sengketa pemilu hanya akan memperburuk situasi, sekaligus memberikan kesan bahwa lembaga-lembaga ini gagal menjalankan tugasnya dengan baik,” tegas Dina.

Mengingat, begitu banyaknya permasalahan yang terjadi, sudah seharusnya Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) turun tangan untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja penyelenggara pemilu, baik di tingkat pusat maupun daerah. DKPP memiliki peran penting dalam memastikan bahwa setiap tahapan pemilu, termasuk PSU di Tasikmalaya, berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dan konstitusi.

“Evaluasi ini harus mencakup berbagai aspek, mulai dari independensi penyelenggara, profesionalisme dalam perekrutan, hingga mekanisme pengawasan yang dilakukan dalam setiap tahapan pemilu. Jika ditemukan adanya pelanggaran etik atau indikasi penyalahgunaan wewenang, maka DKPP harus berani mengambil tindakan tegas, termasuk memberikan sanksi kepada pihak-pihak yang bertanggungjawab,” jelasnya.

Jika tidak ada langkah konkret dari DKPP dan lembaga terkait, jelasnya, maka bukan tidak mungkin PSU di Tasikmalaya akan menjadi preseden buruk yang mencerminkan kegagalan penyelenggara pemilu dalam menjalankan tugasnya. Hal ini dapat berimbas pada menurunnya tingkat partisipasi pemilih, meningkatnya ketidakpercayaan terhadap hasil pemilu, dan bahkan berujung pada instabilitas politik di daerah.

“Dengan berbagai permasalahan yang telah diuraikan, sangat jelas bahwa situasi politik dan demokrasi di Kabupaten Tasikmalaya sedang berada dalam kondisi yang tidak baik-baik saja. Putusan MK yang seharusnya menjadi pedoman dalam memperkuat sistem hukum justru membuka ruang bagi ketidakpastian dalam proses pencalonan. Di sisi lain, lemahnya tata kelola pemilu oleh penyelenggara di tingkat daerah semakin memperburuk keadaan,” ungkapnya.

Oleh karena itu, katanya, KPU dan Bawaslu harus segera mengambil langkah tegas untuk memberikan kejelasan hukum terkait pencalonan dalam PSU di Tasikmalaya. Keputusan yang diambil harus benar-benar berbasis pada aturan yang berlaku serta mengutamakan prinsip keadilan dan transparansi. Selain itu, DKPP juga harus segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap penyelenggaraan pemilu, khususnya dalam hal independensi dan profesionalisme penyelenggara di tingkat daerah.

“Jika langkah-langkah tersebut tidak segera dilakukan, maka PSU di Tasikmalaya bukan hanya akan menjadi polemik hukum dan politik, tetapi juga mencerminkan kegagalan dalam menjaga integritas demokrasi di Indonesia,” tandasnya. Red

Berita Terkait