Referensi – Beberapa bulan kebelakang tepatnya bulan April selalu menjadi bulan istimewa bagi perempuan Indonesia yaitu diskursus tentang kesetaraan gender khususnya affirmative action diangkat secara massif dalam berbagai bentuk ekspresi misalnya content media sosial dan lain-lain.
Affirmative action dalam konteks kesetaraan gender dimaknai sebagai sebuah kebijakan yang memberikan ruang yang istimewa atau setara kepada perempuan untuk bersaing dengan laki-laki dalam menduduki posisi-posisi strategis di ranah public.
Praktis demokrasi perempuan dan laki-laki mempunyai hak yang sama, namun keterlibatan perempuan dalam mengakses ruang public masih sangat sulit padahal populasi penduduk Jawa Barat didominasi oleh perempuan.
Misalnya rasio perbandingan untuk populasi Kota Tasikmalaya jumlah penduduk laki-laki 35.6358 ribu dan jumlah penduduk perempuan 36.7563 ribu. Oleh karena itu diperlukan regulasi dan sistem yang mendorong keterwakilan sebagai pengambilan kebijakan.
Pada UU No. 22 tahun 2017 dan UU Tahun 2011 Tentang Penyelenggara pemilu dan UU No. 7 Tahun 2017 tentang tentang pemilihan umum yang mengatur tentang keterwakilan perempaun minimal 30% dalam penyelenggara pemilu. Selanjutnya disusul melalui Pasal 10 ayat 7 dan pasal 92 ayat 11 UU 7/2017 tentang pemilihan umum.
Ketentuan perundangan tersebut menyatakan bahwa komposisi keanggotaan penyelenggara pemilu perlu memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%. Namun hingga saat ini, keterwakilan perempuan dalam lembaga penyelenggara pemilu masih dihadapkan pada sejumlah persoalan. Dinamika ini terjadi di Bawaslu Kota Tasikmalaya.
Kondisi empiric menyebutkan bahwasannya keterwakilan perempuan di lembaga penyelenggara pemilu menunjukan minimnya jumlah perempuan sebagai anggota KPU dan bawaslu diberbagai tingkatan. Selanjutnya, pasal 10 ayat 7 UU nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu menyatakan bahwa komposisi keangotaan KPU Provinsi dan keanggotaan KPU Kab/Kota memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30%.
Lalu pasal 92 ayat 11 menyatakan bahwa komposisi keanggotaan Bawaslu provinsi, dan Kota/Kab memperhatikan keterwakilan perempaun paling sedikit 30%. Bahkan ditingkat daerah kota tasikmalaya khusunya penyelenggara pemilu masih di bawah 30% dan tidak memiliki komisioner perempuan sebagai keterwakilan.
Jika menurut hemat pikir saya sebagai penulis ini ada salasatu kejanggalan yang memang perlu dibenahi ketika Bawaslu Kota Tasikmalaya tidak memenuhi 30% keterwakilan maka ketika seleksi ada unsur kepentingan oligarki didalamnya dan Kami meminta Bawaslu RI untuk mengevaluasi kedudukan komisioner Bawaslu Kota Tasikmalaya yang tidak memenuhi 30% keterwakilan perempuan. Penulis: Neng Isa Denisa (Sekretaris KOPRI PMII Kota Tasikmalaya)