Kota, Wartatasik.com – Kepenatan pikiran akibat prilaku pejabat tanpa sentuhan nurani, apalagi tanpa keterbukaan akan memunculkan kekeringan makna.
Maka munculah sebuah penyakit yang namannya arogansi eksistensi sektoral, hal inilah sedikit besarnya telah merobah tatanan prilaku masyarakat kita menjadi pragmatis, oportunis dan apatis.
Hal tersebut dikatakan Budayawan Tasikmalaya Tatang Fahat kepada Wartatasik.com, Selasa (15/10/2019).
Menurut Tatang, kondisi semacam ini sudah tentu tidak dapat dibiarkan, pasalnya dilain pihak desakan sebagian masyarakat yang membuat masyarakat sedikit besarnya terpengaruh dengan ritme ini.
Lanjut ia, munculnya gerakan gerakan moral sebagai kontrol sosial terhadap kerja dan kinerja pemerintah dan tiap kebijakan yang di gelontorkan terkadang tidak berpihak pada rakyat yang disebabkan kepentingan dan kebutuhan segelintir orang.
“Malah yang lebih parah ekpresi ekpresi yang sipatnya kontrol terhadap kebijakan atau program pemerintah yaitu “bersihkan korupsi” dilarang bahkan dinistakan,” ungkapnya.
Seharusnya terang Tatang, Wali Kota memberikan contoh kepada masyarakat dengan mengedepankan hukum di atas segala galanya.
“Bukannya cuci tangan pada persoalan penuntasan hukum di wilayahnya, sementara negara kita negara hukum dan tentu saja harus menjadi panglima,” paparnya.
Klik berita terkait >>> Sambil Bawa Keranda, PDT Tunggu Wali Kota Tasik Minta Maaf
Semestinya lanjut Tatang, munculnya gerakan gerakan kontrol sosial yang muncul dari generasi muda sebagai bentuk peduli terhadap Tasikmalaya yang Clean Goverment.
“Malah menjadi pesakitan dan dipersalahkan. Aneh memang!,” Imbuhnya.
Tatang menyebut, persoalan tersebut memang krisis yang ada di Kota Tasikmlaya dan sudah waktunya pemerintah membuka diri yang tentunya berpihak pada masyarakat.
“Dikongkretkan dengan adanya gerakan bersih bersih di lembaga yang terindikasi bermasalah. Sudah waktunya hukum kembali pada khitohnya demi perbaikan Kota Tasikmalaya bersih, profosional dan profesional,” tuturnya.
Namun hal itu bertolak belakang seperti yang beredar di media online dalam menyikapi kasus keranda mayat di TOF (Tasik Oktober Festival) hari Minggu kemarin.
“Kenapa malah dilarang atau di jegal inilah yang menjadi soal?!,” tegasnya.
Padahal sebetulnya gerakan itu sebuah ekpresi demi kota Tasikmalaya yang bersih dari korupsi dan akan lebih elegan kalau ekpresi tersebut dibiarkan karena salah satu ekpresi masyarakat Kota Tasikmlaya.
Bukankah TOF itu milik masyarakat Kota Tasikmalaya! Gerakan “nyeleneh” mungkin akumulasi dari berbagai persoalan persoalan yang menyangkut hukum di Tasikmalaya yang belum tuntas atau berniat tidak di tuntaskan?” katanya.
Persoaln ini sudah timbul beberapa tahun ke belakang dalam pemerintahan Walikota Budi Budiman, lalu pertanyaannya apakah kepemimpinan periode kedua Budi Budiman akan tetap sama atau ada perubahan mari kita lihat bersama!
Sisi lain masyarakat berharap ada kejelasan, keterbukaan perihal supremasi hukum di Kota Tasikmalaya yang dibuat para pengemban amanah yaitu legislatif dan eksekutif, karena jangan sampai supermasi hukum menggelembung begitu saja di Kota Tasikmalaya.
Tatang mengaku, catatan ini semata mata demi menjaga Kota Tasikmlaya yang dicintai, nyaman, berbudaya tentu saja di dalamnya beretika.
Sebab, sudah selayaknya pemerintah berpihak pada masyarakatnya bukan berpihak pada kepentingan atau kelompoknya yang jelas-jelas rakyat bertanya tanya terkait status Walikota masih tersangka.
“Catatan kecil ini juga menyikapi soal ekpresi dari kasus Keranda mayat pada perhelatan TOF (Tasik Oktober Tasikmalaya),” pungkasnya. Tim