Tatang Pahat: Taman Kota Sejarah Kita | Ist
Kota, Wartatasik.com – Ketika taman taman yang ada di Kota Tasikmalaya kehilangan konsep, maka rusaklah landscape kota sebagai etalase budaya di Priangan Timur.
Menurut Budayawan Tasikmalaya Tatang Pahat, seyogyanya taman taman yang ada di kota manifestasi atau cerminan budaya. Sebaliknya taman taman yang ada di kota sepertinya kehilangan aura misal taman depan Masjid Agung dengan payung gede Songsongnya.
“Itu payung nutup yang dulunya pemberian dari Ratu Wilhelmina buat para Bupati yang berprestasi simbol prestasi dan lambang kebesaran (berbentuk Pin). Lalu, sama para gegeden diperbesar sebagai penghormatan balik kepada yang memberi,” ujarnya, ucap Tatang, Selasa (10/05/2022).
Tatang menyebut, kalau melihat sekelumit sejarah payung gede songsong tidaklah cocok jikalau di pasang di ruang terbuka. (Kecuali bisa di buka) jelas multipungsi, untuk berteduh jika panas atau hujan.
“Seandainya payung gede songsong di pasang di pusat pemerintahan atau di ruangan-ruangan walikota dan kantor kantor dinas, mungkin auranya akan kerasa, bahwa payung gede songsong mempunyai daya magnet yang lain,” saran Tatang.
Ia menjelaskan, bergeser sedikit ke sebelah timur di situ ada Taman Alun Alun dengan gemerlap cahaya yang buricak burinong, sepintas terkesan seperti ajang bermain anak anak dengan cahaya yang warna warni, tanpa memperhitungkan artistik apalagi estetika.
Padahal kata Tatang, disudut taman ada panggung terbuka, kenapa itu tidak diberdayakan, sebab itu kepada dinas yang mengurusi taman jangan tanggung kalau menggarap taman, kelihatan ini all out berkesan, pencitraan saja.
“Coba bikin kalender atau agenda minimal satu minggu satu kali, diskusi dari mulai sosial politik hukum sekaligus pembelajaran untuk masyarakat, musik, seni seni apapun untuk mengisi panggung, tentu saja yang bersandar pada khasanah ke-Tasikan,” harap Tatang.
“Jangan sampai arogansi dinas yang dimuculkan, persolan budaya bukan saja kerjaan dinas Disporabudpar, yang memeng sudah mandul dan keberpihakan kepada budaya setengah hati,” tambahnya.
Buktinya terang Tatang, sampai detik ini perda kebudayaan sama sekali tidak diperjuangkan, padahal perda ini sangat penting dan jangan terlalu, belum lagi taman Dadaha, seperti wilayah yang di anak tirikan sama sekali tidak tersentuh alias tidak terurus.
“Padahal Dadaha adalah magnet kota Tasikmalaya. Harus ada perlakuan khusus, sebab Dadaha selain paru paru kota (hutan kota atau zona hijau), Dadaha adalah ruang publik yang dikenal di Jawa Barat, bahkan Indonesia. Terbukti gelaran gelaran atau acara yang nasional bahkan Internasional Dadaha lah yang menjadi lokusnya,” beber Tatang.
Lanjutnya, sisi lain nama Dadaha itu mempunyai cerita sejarah yang mumpuni, perayaan sederhana kenapa Dadaha sampai terbengkalai seperti itu. Jawabannya keberpihakan pemerintah yang setengah hati cenderung ambigu. Saling tarik menarik kepentingan antar dinas.
“Ini yang menyebabkan kota Tasikmalaya terlihat terbata bata, budaya cari muka ke penguasa hal yang utama padahal sudah punya muka!,” tegas Tatang.
Ia menyindir, ruang (ruang publik) bukan hanya memuji muji kesucian estetika belaka tapi perhitungan kesejarahan, sosiologi, antropologi, bahkan kepersoalan fungsi dan realitas kongkret yang di potret lewat kacamata semiotik.
“Itu harus jadi perhitungkan dalam bekerja yang menyangkut dengan wajah kota. Cag!,” tandas Tatang. Asron.