Kab, Wartatasik.com – Warga terdampak yang berasal dari Desa Ancol Cineam Tasikmalaya yang semula para pemilik tanah pembebasan lahan mega proyek nasional bendungan Leuwikeris terus melakukan upaya agar mendapatkan hasil yang diharapkannya.
Seperti halnya saat ini warga tengah menempuh upaya Kasasi atas putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 357/PDT/2019/PT.BDG.
Permohonan Kasasi sudah didaftarkan di Pengadilan Negeri Tasikmalaya pada Kamis 24 Oktober 2019 oleh kuasa hukum Dani Safaei Efendi SH dan tim.
Koordinator warga terdampak Heri Ferianto mengatakan, pihaknya akan terus melakukan upaya perlawanan sampai titik darah penghabisan.
Pasalnya, Heri menilai putusan Pengadilan Negeri Tasikmalaya (tingkat pertama) dan Putusan Pengadilan Tinggi Bandung (tingkat banding) keduanya tidak memberikan rasa keadilan dan perlindungan hukum terhadap hak-hak warga negara.
“Sejak terbitnya putusan tingkat pertama hingga putusan banding, warga mengendus adanya dugaan pesanan di dalam kedua putusan tersebut,” ungkapnya, Minggu (27/10/2019).
“Isi kedua putusan tersebut dinilai tanpa mempertimbangkan dan melihat fakta-fakta yang ada,” sambung ia.
Menurut Heri, tidak pernah hadirnya KJPP Adnan Hamidi dan Rekan (Appraisal) sejak awal persidangan tanpa alasan yang jelas.
Padahal sudah dipanggil secara patut namun tidak pernah hadir yang seolah telah melecehkan marwah pengadilan.
“Secara hukum jika tidak hadir dan memberikan jawaban atau bantahan maka dianggap menerima, namun hal itu tidaklah dijadikan pertimbangan oleh Majelis,” bebernya.
Selain itu kata Heri, hasil pemeriksaan setempat yang cukup menguatkan bukti-bukti gugatan, itupun tidak dijadikan pertimbangan.
Bahkan bukti-bukti pelanggaran terhadap ketentuan undang undang serta bukti-bukti perbuatan melawan hukum lainnya yang disajikan dalam persidangan, itupun sama tidak dijadikan pertimbangan.
“Kesaksian Ketua DPRD Kabupaten Tasikmalaya yang memberikan keterangan secara jelas dan gamblang, sama sekali tidak ditanggapi dan dijadikan pertimbangan oleh majelis,” ujarnya.
Terang Heri, semua dalil keterangan saksi dan alat bukti warga terdampak terbantahkan oleh keterangan saksi dari tergugat yang mengada-ada dan kontradiktif dengan fakta sebenarnya.
Tapi pertimbangan majelis diduga cenderung mengarah pada dalil-dalil bantahan para tergugat yang notabene berdalih sudah membayar ganti kerugian berdasarkan hasil penilaian Appraisal.
“Sedangkan faktanya Appraisal yang ditunjuk menjadi penilai ganti kerugian tersebut tidak berizin,” tuturnya.
Lantaran itu, Heri menilai pertimbangan hukum dalam putusan tersebut dianggap keliru, karena majelis telah menganggap legal terhadap proses pengadaan tanah terutama penilaian ganti kerugian yang cacat syarat dan melanggar undang undang.
“Meskipun tidak berizin, majelis menganggap sah KJPP Adnan Hamidi dan rekan sebagai penilai, karena menurutnya hal itu tidak dapat menggugurkan proses penilaian ganti kerugian dan pembayaran ganti kerugian,” imbuhnya.
Jika bicara soal pembayaran, Heri mengakui memang sudah terjadi pembayaran, tapi ia menegaskan gugatannya itu bukan soal sudah dibayar atau belum dibayar.
“Kami gugat adalah perbuatan melawan hukumnya. Karena dalam proses pembebasan lahan milik kami tidak ada keterbukaan informasi, tidak ada musyawarah, adanya tekanan secara psikis,” kata ia.
Terlebih, munculnya rekening siluman atas nama para pemilik tanah secara tiba-tiba tanpa konfirmasi serta adanya tanah negara yang dimasukan ke dalam daftar nominatif dan diatasnamakan seseorang.
Itupun bulum lagi adanya dugaan Kongkalingkong dengan meminjam bendera KJPP Bodong agar nilai harganya bisa disunat secara berjamaah…!!
“Semua itu jelas bertentangan dengan ketentuan hukum yang ada salah satunya yaitu Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum,” pungkasnya. Redaksi