Ada banyak perbedaan antara tradisional “Bullying” dan “cyberbullying.” Hal atau dampak dari kedua jenis bully tersebut adalah tidak adanya zona aman bagi para korban cyberbullying. Penindasan dan intimidasi akan terus berlanjut siang dan malam; tidak ada habisnya.
Selain itu, para pelaku cyberbullying akan tetap tersembunyi, dan terus menyembunyikan identitasnya di balik social networking. Jenis lain dari cyberbullying yang sering kita lihat adalah ketika dalam banyak kasus seseorang menyerang seseorang secara fisik, sementara aktor lain merekam kejadian tersebut melalui telepon atau kamera kemudian menyebar luaskan melalui media sosial.
Jenis Bully ini disebut awal mula dari “perang” dunia maya. Intimidasi di dunia maya dapat dibagi menjadi dua yaitu fisik dan non-fisik. Fisiknya termasuk perihal yang memicu sebuah perkelahian di dunia maya dengan diawali dengan kalimat provokasi. Pesan non-fisik, termasuk pesan kejahatan, ancaman, desas-desus, dan ucapan kebencian adalah bentuk intimidasi yang dapat dikaitkan dengan intimidasi tidak langsung dan relasional.
Film “Means Girls” yang rilis pada tahun 2004 adalah salah satu jenis penindasan atau intimidasi yang menggambarkan kelompok-kelompok perempuan di sekolah menengah, struktur sosial kelompok, dan bagaimana mereka menggunakan status sosial mereka untuk mengintimidasi orang lain.
Teknologi seperti internet dan telepon seluler terlibat dalam pola intimidasi tidak langsung dan relasional. E-mail, jejaring sosial, ponsel, dan situs jejaring sosial Digital Interaktif lainnya semakin membuat tingkat kekacauan semakin meningkat dan meluas lebih cepat.
“Tradisional Bullying” telah berkembang dari area dan ruang lingkup yang kecil seperti sekolah dan dibawa ke ruang yang lebih luas yaitu Internet. Secara umum, tradisional “Bullying” akan menyasar anak-anak baik perempuan dan anak laki-laki dimana yang membedakan adalah bentuk dan penampilan bullying itu sendiri.
Semakin beragam. Dan tentunya Internet memberikan peluang untuk hal tersebut. Sekali lagi internet yang kemudian menjadi dua sisi mata pisau yang tipis perbedaannya.
Kelompok umur yang paling rentan – Untuk intimidasi (Bullying)tradisional, sekolah menengah pertama dan menengah atas dianggap paling zona yang paling rentan. Temuan ini menunjukkan bahwa viktimisasi dan intimidasi lebih umum menyasar pada mereka yang intensitas bersinggungan dengan internet lebih sering seperti pada kondisi saat ini. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Jacobs dkk pada tahun 2015 dan menemukan bahwa “Bully” meningkat pesat dari sekolah dasar dan sekolah menengah.
Ditambahkan lagi hasil penelitian dari Ging dan O ‘Higgins Norman (2016) menemukan bahwa remaja berusia 15-17 lebih cenderung terlibat dalam cyberbullying daripada kelompok usia lainnya. Kelompok usia itulah yang bisa kita cermati dan perlu dilakukan hal-hal masif untuk menanggulangi.
Cyberbullying dapat mengubah esensi komunikasi dan fungsi dari media internet, termasuk strategi untuk menyelesaikan masalahnya. Interaksi tatap muka yang sangat minim terjadi dalam komunikasi online mungkin menjadi salah satu sebab muncul kebebasan tindakan cyberbullying.
Hal itu yang dapat menyebabkan beberapa hal negatif. Misalnya, bebas menuliskan hal apapun untuk menanggapi komentar tertulis karena ekspresi wajah yang tersembunyi. Istilah “haters” muncul dengan jelas sebagai kaum yang melawan dan membuat gaduh dengan pernyataan provokasi negatif dengan tidak memikirkan dan memahami konsekuensinya.
Sekali lagi, kita sebagai makhluk sosial perlu bijak memaknai perkembangan teknologi yang ada saat ini terjadi. Komunikasi tanpa batas dalam mendia internet tidak selamanya bebas, namun perlu pembatasan-pembatasan. Hilangnya interaksi tatap muka secara langsung mungkin sebab munculnya perilaku cyberbullying, yang meningkat pesat seperti saat ini.
Keterlibatan Seorang ahli Bahasa Forensik dalam kasus Cyber
Linguistik forensik melibatkan topik-topik atau isu bahasa hukum, saksi, terduga pelaku tindak kejahatan, dan kasus perdata. Dengan bahasa sederhana, linguistik forensik mencakup analisis bahasa tertulis dan lisan untuk tujuan hukum.
Dalam beberapa kasus yang ada di Indonesia, beberapa bentuk bukti linguistik forensik digunakan di pengadilan, seperti bukti teks, email dan analisis percakapan melalui media telah digunakan dan disajikan sebagai bukti yang jelas dalam pengadilan.
Prinsip-prinsip linguistik seperti analisis wacana dan teori bahasa akan digunakan oleh ahli bahasa forensik untuk memberikan pendapat mereka di pengadilan. Kontribusi ahli bahasa sangat membantu bagi para penyidik dalam menafsirkan pernyataan yang bias dan ambigu.
Dalam beberapa studi, ahli bahasa dan penyidik kepolisian memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk mendapatkan kejelasan informasi dalam sebuah komunikasi.
Sekali lagi, kajian linguistik forensik masih terbilang baru. Saat ini di Indonesia terdapat wadah bagi penggiat bahasa (Praktisi dan Akademisi) yaitu Komunitas Linguistik Forensik Indonesia (KLFI).
Inisiatornya adalah seorang Linguist Dr. Susanto Saman dari Universitas Bandar Lampung. Saat ini, tidak banyak linguist di Indonesia, yang secara profesional diakui kapasitasnya. Mereka seperti Prof. Dr. Subyantoro, M.Hum, Dr. Susanto Saman, Bambang Kaswanti Purwo, Andika Dutha Bachari, dan Prof. E. Aminudin Aziz, MA.,Ph.D. Artinya, keberadaan seorang ahli bahasa yang kemudian diharapkan mampu berjalan berdampingan dengan para penyidik.
Menurut penulis, tingkat kompleksitas dan dinamika permasalahan bahasa dalam hukum menuntut pihak Kepolisian dapat terus bersinergi dengan para ahli bahasa (Linguist) forensik sehingga tidak ada lagi kesalahan dalam memfonis atau menetapkan seseorang menjadi tersangka. Hal tersebut yang membuat penulis tertarik dan sedang mengkaji dinamika hukum melalui kerangka bahasa dalam beberapa penelitiannya, termasuk dalam disertasinya saat ini. Oleh: SIGIT APRIYANTO, M.Pd., PhD (c) Doctor of Forensic Linguistics University Tun Hussein Onn Malaysia (UTHM)