Situ Gede (Prabudilaya) adalah jejak kesadaran bagi masyarakat Kota Tasikmalaya yang memperlihatkan asal usul dan kekuatannya yang entah sejarah, mitos atau folklor apapun didalamnya pasti ada value yang berdampak pada prilaku masyarakatnya.
Jika pemerintah, pengusaha atau masyarakat sekalipun tidak menjaga kearipan Prabudilaya, maka mereka ini memperlihatkan ketidakberesan pikiran dalam mengkaji falsapah kearipan lokal secara kaffah!
Patih Mangkubumi akan menggelar peristiwa budaya dengan tajuk SITU GEDE ART FESTIVAL. Gelaran ini tidak melupakan kepada situasi kekinian, kapan dan dimana gelaran itu digelar. Berharap gelaran yang tersaji menjadi terasa mengigit dengan perpaduan budaya kekinian dengan budaya “tradisi yang berkembang di masyarakat mangkubumi”. Adapun kekuatan khasanah tradisi, merupakan benang merah konsep garap, sehingga pergelaran syarat dengan makna.
Disini Pemerintah (Walikota Tasikmalaya) harus pro-aktif dan mempunyai kesadaran bahwa kolektivitas budaya merupakan jembatan untuk membangun keragaman setiap sendi yang ada di masyarakat, karena kesadaran menerjemahkan kehidupan yang sebenarnya ke dalam sebuah bentuk bangunan Estetika yang tentu saja berbeda dengan kehidupan sebenarnya.
Sementara, realitas sebagai bahan baku tadi, merupakan energi pada ide gagasan untuk penampilanya. Penyatuan misterius berbagai kesan pada realitas, termasuk juga, sesuatu yang bersifat habit, metafisik, folklor tadi, bukanlah milik karya seni semata. Sebab, bagaimanapun juga peristiwa budaya mengacu pada kenyataan sebenarnya yang berdasarkan tanggapan inderawi. Hal itu dikarenakan budaya suatu yang riil dan berkembang di masyarakat, dan pergelaran dengan tajuk “apapun tadi” mencoba menjawab dengan keluesan estetika dan semata-mata mencoba menangkap energi positif persoalan budaya yang berkembang di masyarakat.
Perlu adanya kesadaran bersama ketika memaknai budaya dan kebudayaan, semestinya kembali pada khitohnya, dimana budaya dan kebudayaan terlahir dari masyarakat, artinya budaya pada hakekatnya sudah mempunyai makomnya. Persoalannya itu apakah makomnya perlu di jaga atau tidak dan tugas siapa menjagannya?
Menyikapi persoalan ini, kirannya peristiwa budaya SITU GEDE ART FESTIVAL, merupakan gerbang pembuka kekayaan budaya Tasikmalaya yang selama ini stagnan. Dan event Situ Gede ini sebagai kunci pembuka yang merupakan tempat strategis dan belum karopéa. Di satu sisi Situ Gede punya daya magis, selain tempat objek wisata, Situ gede juga merupakan tempat bersejarah satu dari sekian banyak tempat yang mempunyai kearipan tersendiri sehingga terbentuknya Taskmalaya ada seperti sekarang ini.
Sudah barang tentu sebuah keniscayaan peran pemerintah dalam hal ini Walikota harus menjadi mesin penggerak, sebab hakekatnya pemerintah merupakan perpanjangan tangan atau informan tentang perkembangan budaya di masyarakat. Dan sejatinya pemerintah (Walikota, red) menjadi Bapak angkat untuk kelompok-kelompok budaya (seni) yang berkembang di masyarakatnya. Sejalan dengan keterangan di atas, maka mendapat simpulan sementara, bahwa macetnya nilai komunikasi terletak pada persoalan budaya keterbukaan, sementara munculnya ketidakterbukaan akibat pemahaman makna budaya sebatas bisnis semata tidak menyentuh kepada “nilai”. Disini letaknya soal!
Padahal pengertian dasar berbudaya adalah sebuah proses memanusiakan manusia. Dalam arti luas, budaya memperluas pengetahuan manusia tentang dirinya sendiri, dan tentang dunia dimana mereka hidup. Cara pandang inilah pada saat sekarang mulai tergadai dan tergerus dengan kepentingan pribadi dan golongan lebih tepatnya kepentingan balas budi. Sehingga kehilangan makna komunikasi seutuhnya. Mendidik, memahami, Mengajak bersikap kritis, inovatif dan kreatif menjadi mati suri. Pola berpikir dan pola tindak sistematik, berpikir global tentang nilai-nilai kebudayan dan membangun sinergitas serta pendekatan untuk menyelamatkan kebudayaan terkebiri kepentingan politis.
Masyarakat budaya “mungkin” berharap banyak kepada pemerintah. Sejatinya pemerintah menjadi keharusan mengajak kepada semua element yang ada di masyarakat tidak terkecuali politisi, broker (calo) sekalipun bergandeng tangan membangun budaya, karena terbukti majunya suatu bangsa atau wilayah bisa di lihat dari perkembangan budayannya. Sehingga ruang dialogis ini menggiring untuk menumbuhkan rasa saling memiliki. Maka jelas yang bertanggung jawab keberlangsungan budaya bukanlah masyarakat budaya semata tapi “Kita”.
Jika ada kekeliruan akan terjadi split reverence (acuan terbelah) dan hasil yang muncul akan berakibat bergesernya budaya (tata nilai) bukan pengkristalan budaya. Semoga cacatan kecil ini menjadi acuan untuk bahan renungan “Kita”, dan menjadi stimulus untuk duduk bersama membicarakan tentang hakikat budaya. Selamat berjuang pak!
Penulis : Kayat (Ketua Sunda Ngahiji)